Powered By Blogger

Sabtu, 26 Februari 2011

M(alas) Vs M(impi)



Terkadang aku merasa iri dengan pemimpi-pemimpi ulung seperti mereka. Andrea Hirata, B.J Habibie, Alif Fikri, dan Raditya Dika. Senang sekali mereka dapat menangkap mimpinya dari rajutan peluh yang dikerjakan. Dari berpikir tingkat tinggi sampai sebuah catatan pelajar bodoh yang bisa menembus best seller. Tak pernah sedikitpun terlintas, berani out of the box seperti mereka. Terbang menuju puncak menara impian tanpa melupakan Allah, keluarga, sahabat, teman atau bahkan seorang pacar. Kecil tapi butuh usaha yang luar biasa untuk mencapainya. Anak tangga demi anak tangga harus didaki untuk menyentuh bintang yang sekian lama ingin diraih. Tapi aku yakin, selama aku masih dapat berdiri di atas kakiku sendiri, aku akan bisa memetik bintang yang paling terang itu.
Satu hambatan yang paling meruntuhkan mimpi-mimpiku adalah rasa malasku yang sudah stadium akut. Alurnya seperti gelombang transversal yang terkadang naik, tetapi juga turun secara significant. Semua usahaku gagal total untuk memangkas penyakitku yang satu ini. Dari mulai mencatat ratusan mimpiku seperti yang diajarkan oleh sesosok motivator yang sangat kukagumi hingga sekarang hingga membuat rencana-rencana yang kutulis di kertas HVS. Dan akhirnya semua itu “hilang” dan automatically terhapus di memori ingatanku.
Pelangi itu mengatakan bahwa, mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia. Lalu bagaimana dengan malas? Apakah itu merupakan sebuah gembok, dimana tanpa ada mimpi maka gerbang itu akan tertutup rapat. Jadi kesimpulannya, hanya orang yang mempunyai mimpi saja lah yang dapat membuka gembok kemalasannya untuk masuk kedalam gerbang impiannya. (Erham, 25Feb’11)